WELCOME

SELAMAT DATANG DI BLOG INI... semoga bermanfaat...

Kamis, 29 Desember 2011

Para Punk Aceh Yang Dibebaskan Akan Tetap Menjadi Punk

Jakarta – Enam puluh lima anak muda yang menganggap dirinya sebagai punk telah resmi dipulangkan dari Sekolah Polisi Negara Seulawah, Aceh Besar, telah dipulangkan pada Jumat (23/12) pekan lalu setelah dinyatakan “lulus” dari pendidikan ulang yang mayoritas mengarah ke “bidang studi” moral. Digelar di kantor walikota, acara pelepasan tersebut berlangsung meriah, seperti dilaporkan BeritaSatu.com. Lima puluh sembilan pemuda dan enam pemudi tersebut mengenakan sepatu lars polisi, celana coklat, dan baju lengan panjang, yang perempuan mengenakan jilbab, bahkan diberi kesempatan menyanyi, salah satunya lagu “Darah Juang”.
Selain diberikan sertifikat sebagai anak binaan Polisi Republik Indonesia, para punk ini juga diberitakan mencium tangan para polisi yang menjadi instruktur mereka.
Namun itu bukan berarti bahwa enam puluh lima anak itu lantas pindah jalur. Seperti yang diucapkan Rian Rizki Ramadhan, 19 tahun, kepada BeritaSatu.com: “Saya berterima kasih sudah dibina, baca Al-Quran, tetapi semua ini sudah cukup. Kami tidak usah dibina lagi.”
M. Syukri Dinihar Sijabat, pria berusia 24 tahun yang merupakan mahasiswa semester enam Fakultas Teknik Kimia Industri Riau, menimpali: “Kami sangat mencintai dunia kami. Apa kami diizinkan kembali ke Aceh untuk menikmati alam setelah sebelumnya disebut melanggar norma?”
Ada pula yang lebih blak-blakan mengutarakan ketidapuasan walaupun anak muda itu enggan menyebutkan namanya. “Katanya dijanjikan bisnis sablon, janji ini, janji itu. Mana? Kami semakin muak saja dengan pemerintah model begini,” protes anak muda itu.
Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin, mengatakan bahwa pemuda dan pemudi tersebut akan dikembalikan ke orangtua masing-masing. Tetapi pengawasan akan tetap dilakukan terhadap anak-anak yang berasal dari Banda Aceh.
“Khusus untuk yang Aceh akan terus kami pantau. Kami tak lepas. Untuk yang di luar Banda Aceh akan kami akomodir pulang ke daerah masing-masing. Mereka bisa datang ke Aceh karena ini kota terbuka, tetapi ada norma yang dijaga,” jelasnya.
Wakil Mawardy, Illiza Sa’aduddin Djamal, lalu menambahkan: “Boleh jadi punk Aceh asal Islami. Misalnya rambut jangan dicat, kalau dicat nantinya menimbulkan dosa bagi orang lain karena mereka akan membatin.”
Beberapa hari sebelum pelepasan anak-anak itu, Muhammad Alhamda, seorang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh yang menangani kasus penangkapan sejumlah anak muda Aceh yang pada beberapa minggu lalu ditangkap dan dihukum hanya karena bergaya layaknya punker telah menyatakan pendapatnya ke AcehKita.com soal langkah yang diambil pemerintah setempat tersebut.
Menurut Alhamda, pendekatan yang diambil pemerintah merupakan langkah yang salah dikarenakan ketidakmungkinan dalam mengubah pilihan hidup seseorang.
“Saya yakin mereka akan kembali menjadi punk setelah keluar dari sini. Saya tadi sempat berbincang dengan beberapa orang dari mereka yang mengaku akan kembali menjadi punk,” ujar Alhamda.
Alhamda lalu melanjutkan bahwa seharusnya pemerintah mengajak anak-anak punk tersebut berdialog. Bahkan, untuk lebih lanjut lagi, diajak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan sosial yang dilaksanakan pemerintah. Dengan begitu, mereka merasa tidak dipinggirkan seperti yang terkesan selama ini.
Evi dari Koalisi NGO HAM juga mengeluarkan pernyataan senada: “Pola pembinaan seperti itu tidak akan bisa menghilangkan komunitas punk di Aceh. Buktinya setelah penangkapan pada Februari lalu, jumlah anak punk di Banda Aceh bukan berkurang, melainkan semakin bertambah.”
“Punk adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perbedaan. Itu normal dan ada di berbagai belahan dunia lain. Seharusnya, mereka diajak dialog untuk mengetahui kenapa mereka berperilaku begitu. Itu kan hak mengekpresikan kebebasan. Tidak ada yang salah dari anak punk,” pungkas Evi.
ht

Tidak ada komentar: