Jakarta – Enam puluh lima anak muda yang menganggap
dirinya sebagai punk telah resmi dipulangkan dari Sekolah Polisi Negara
Seulawah, Aceh Besar, telah dipulangkan pada Jumat (23/12) pekan lalu
setelah dinyatakan “lulus” dari pendidikan ulang yang mayoritas mengarah
ke “bidang studi” moral.
Digelar di kantor walikota, acara pelepasan tersebut berlangsung meriah, seperti dilaporkan BeritaSatu.com.
Lima puluh sembilan pemuda dan enam pemudi tersebut mengenakan sepatu
lars polisi, celana coklat, dan baju lengan panjang, yang perempuan
mengenakan jilbab, bahkan diberi kesempatan menyanyi, salah satunya lagu
“Darah Juang”.
Selain diberikan sertifikat sebagai anak binaan Polisi Republik
Indonesia, para punk ini juga diberitakan mencium tangan para polisi
yang menjadi instruktur mereka.
Namun itu bukan berarti bahwa enam puluh lima anak itu lantas pindah
jalur. Seperti yang diucapkan Rian Rizki Ramadhan, 19 tahun, kepada
BeritaSatu.com: “Saya berterima kasih sudah dibina, baca Al-Quran,
tetapi semua ini sudah cukup. Kami tidak usah dibina lagi.”
M. Syukri Dinihar Sijabat, pria berusia 24 tahun yang merupakan
mahasiswa semester enam Fakultas Teknik Kimia Industri Riau, menimpali:
“Kami sangat mencintai dunia kami. Apa kami diizinkan kembali ke Aceh
untuk menikmati alam setelah sebelumnya disebut melanggar norma?”
Ada pula yang lebih blak-blakan mengutarakan ketidapuasan walaupun
anak muda itu enggan menyebutkan namanya. “Katanya dijanjikan bisnis
sablon, janji ini, janji itu. Mana? Kami semakin muak saja dengan
pemerintah model begini,” protes anak muda itu.
Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin, mengatakan bahwa pemuda dan
pemudi tersebut akan dikembalikan ke orangtua masing-masing. Tetapi
pengawasan akan tetap dilakukan terhadap anak-anak yang berasal dari
Banda Aceh.
“Khusus untuk yang Aceh akan terus kami pantau. Kami tak lepas. Untuk
yang di luar Banda Aceh akan kami akomodir pulang ke daerah
masing-masing. Mereka bisa datang ke Aceh karena ini kota terbuka,
tetapi ada norma yang dijaga,” jelasnya.
Wakil Mawardy, Illiza Sa’aduddin Djamal, lalu menambahkan: “Boleh
jadi punk Aceh asal Islami. Misalnya rambut jangan dicat, kalau dicat
nantinya menimbulkan dosa bagi orang lain karena mereka akan membatin.”
Beberapa hari sebelum pelepasan anak-anak itu, Muhammad Alhamda,
seorang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh yang menangani
kasus penangkapan sejumlah anak muda Aceh yang pada beberapa minggu lalu
ditangkap dan dihukum hanya karena bergaya layaknya punker telah
menyatakan pendapatnya ke AcehKita.com soal langkah yang diambil pemerintah setempat tersebut.
Menurut Alhamda, pendekatan yang diambil pemerintah merupakan langkah
yang salah dikarenakan ketidakmungkinan dalam mengubah pilihan hidup
seseorang.
“Saya yakin mereka akan kembali menjadi punk setelah keluar dari
sini. Saya tadi sempat berbincang dengan beberapa orang dari mereka yang
mengaku akan kembali menjadi punk,” ujar Alhamda.
Alhamda lalu melanjutkan bahwa seharusnya pemerintah mengajak
anak-anak punk tersebut berdialog. Bahkan, untuk lebih lanjut lagi,
diajak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan
sosial yang dilaksanakan pemerintah. Dengan begitu, mereka merasa tidak
dipinggirkan seperti yang terkesan selama ini.
Evi dari Koalisi NGO HAM juga mengeluarkan pernyataan senada: “Pola
pembinaan seperti itu tidak akan bisa menghilangkan komunitas punk di
Aceh. Buktinya setelah penangkapan pada Februari lalu, jumlah anak punk
di Banda Aceh bukan berkurang, melainkan semakin bertambah.”
“Punk adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perbedaan. Itu
normal dan ada di berbagai belahan dunia lain. Seharusnya, mereka
diajak dialog untuk mengetahui kenapa mereka berperilaku begitu. Itu kan
hak mengekpresikan kebebasan. Tidak ada yang salah dari anak punk,”
pungkas Evi.
ht
Tidak ada komentar:
Posting Komentar